Rabu, 20 Juli 2011

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI(KMS)

A. Dasar Hukum
1. Pasal 16C Undang Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terkahir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 tentang Batasan dan Tata cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri;
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-27/PJ/2010 tentang Tata cara Pengisian SSP, Pelaporan dan Pengawasan pengenaan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-70/PJ/2010 tentang Penyampaian Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-27/PJ/2010 tentang Tata cara Pengisian SSP, Pelaporan dan Pengawasan pengenaan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri;

B. Objek dan Subjek PPN atas KMS
1. Objek PPN atas KMS
Kriteria Kegiatan Membangun Sendiri yang menjadi objek pajak Pajak Pertambahan Nilai adalah:
a. Kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain;
Termasuk kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan melalui kontraktor atau pemborong tetapi atas kegiatan membangun tersebut tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai, dan kontraktor atau pemborong tersebut bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak(PKP).
b. Bangunan berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria:
• Konstruksi utama bangunan terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja;
• Bangunan diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha(tempat usaha atau tempat tinggal untuk usaha);
Bangunan untuk tempat tinggal adalah bangunan atau kontruksi yang diperuntukkan bagi tempat tinggal, termasuk fasilitas olah raga atau fasilitas lain.
Bangunan untuk tempat usaha adalah keseluruhan bangunan atau kontruksi yang diperuntukkan bagi tempat usaha termasuk seluruh fasilitas yang ada.
Bangunan tempat tinggal untuk usaha adalah bangunan atau konstruksi tempat tinggal yang sebagian bangunan atau seluruhnya digunakan untuk kegiatan usaha.
• Luas keseluruhan paling sedikit 300 m2(tiga ratus meter persegi).
2. Subjek PPN atas KMS
Yang menjadi subjek Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri adalah orang pribadi atau badan yang melakukan Kegiatan Membangun Sendiri.

C. Tarif dan Dasar Pengenaan PPN atas KMS
Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang atas Kegiatan Membangun Sendiri diatur sebagai berikut
1. Tarip pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri ditetapkan sebesar 10 %( sepuluh persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
2. Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk mengitung besarnya PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri ditetapkan sebesar 40 % (empat puluh persen) dari seluruh jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.
Termasuk dalam pengertian seluruh biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan untuk membangun sendiri adalah jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan bahan dan jasa untuk kegiatan membangun bangunan tersebut

D. Rumus Penghitungan PPN atas KMS
Rumus penghitungan pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan membangun Sendiri, sebagai berikut:
PPN terutang = Tarif PPN x Dasar Pengenaan Pajak
= 10 % x DPP
= 10% x (40% x jumlah biaya untuk membangun)

E. Saat dan Tempat Terutang PPN atas KMS
1. Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri terjadi pada saat mulai dibangunnya bangunan atau saat dimulainya secara fisik kegiatan membangun sendiri, seperti penggalian fondasi, pemasangan tiang pancang, atau kegiatan fisik lainnya.
2. Tempat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri adalah di lokasi tempat bangunan tersebut didirikan
Apabila kegiatan membangun sendiri dilakukan oleh kantor cabang dari Pengusaha Kena Pajak yang tempat Pajak Pertambahan Nilai terutangnya dipusatkan pada Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar atau Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, kegiatan membangun sendiri tersebut terutang di lokasi bangunan didirikan

F. Tata cara Pembayaran PPN atas KMS
1. Pembayaran PPN terutang atas KMS dilakukan setiap bulan, yaitu sebesar 10% dikalikan 40% dikalikan jumlah biaya yang dikealuarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya.
2. Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri harus menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pengeluaran, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak, yang harus diisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan..
3. Tata cara pengisian Nomor Pokok Wajib Pajak pada Surat Setoran Pajak dibedakan atas tiga macam, yaitu:
a. Apabila tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, kolom Nomor Pokok Wajib Pajak pada Surat Setoran Pajak diisi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak orang pribadi atau badan tersebut.
b. Apabila tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, kolom Nomor Pokok Wajib Pajak pada Surat Setoran Pajak diisi dengan :
1) angka 01 (nol satu) pada 2 (dua) digit pertama, untuk badan usaha;
2) angka 04 (nol empat) pada 2 (dua) digit pertama, untuk orang pribadi;
3) angka 0 (nol) pada 7 (tujuh) digit berikutnya;
4) angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan
5) angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.
c. Apabila orang pribadi atau badan usaha yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kolom Nomor Pokok Wajib Pajak pada Surat Setoran Pajak diisi dengan :
1) angka 01 (nol satu) pada 2 (dua) digit pertama, untuk badan usaha;
2) angka 04 (nol empat) pada 2 (dua) digit pertama, untuk orang pribadi;
3) angka 0 (nol) pada 7 (tujuh) digit berikutnya;
4) angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan
5) angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.

G. Ketentuan Khusus dalam pengenaan PPN atas KMS
Beberapa hal yang harus di perhatikan dalam pembayaran, pelaporan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri, yaitu:
1. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun
2. Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan penyetoran SSP pembayarannya ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
3. Apabila orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan lembar ketiga Surat Setoran Pajak.
4. Apabila orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri selain wajib melaporkan penyetoran pajaknya, wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan foto kopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak.
5. Apabila Pengusaha Kena Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar atau Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, Pengusaha Kena Pajak tersebut selain wajib melaporkan penyetoran pajaknya, wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan foto kopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak.
6. Apabila orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak melakukan menyetor Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan tidak melaporkan penyetoran PPN atas KMS ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dapat mengeluarkan melakukan:
a. Mengeluarkan Surat Tegoran.
b. Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterbitkannya surat teguran, orang pribadi atau badan belum menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dapat melakukan pemeriksaan pajak untuk menetapkan besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri tersebut.
c. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak(SKP) atas besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri.
7. Orang pribadi atau badan yang membangun sendiri bangunan belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sesuai ketentuan yang berlaku.
Jika orang pribadi atau badan yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak namun berbeda dengan tempat bangunan didirikan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagai cabang sesuai ketentuan yang berlaku.
8. Apabila bangunan hasil kegiatan membangun sendiri digunakan oleh pihak lain sebagai tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib menyerahkan bukti Surat Setoran Pajak asli PPN atas KMS kepada pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut.
b. Orang pribadi atau badan yang membangun sendiri bangunan untuk digunakan pihak lain tidak dapat menunjukkan bukti SSP asli PPN atas KMS, pihak l;ain yang menggunakan bangunan tersebut bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran PPN yang terutang.
c. Pihak lain yang bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang wajib menyetor Pajak Pertambahan Nilai terutang ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. dan melaporkan penyetoran tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan.
9. Kegiatan membangun sendiri yang telah dimulai sebelum berlakunya PMK No.39/PMK.03/2010 yang berlaku tanggal 1 April 2010 dan belum selesai pembangunannya, dikenakan PPN berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 554/KMK.04/2000 tentang batasan dan tata cara Pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam Kegiatan Usaha atau Pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain sebagaimana telah diubah dengan KMK Nomor 320/KMK.03/2003.
10. Pajak Masukan yang dibayar sehubungan dengan Kegiatan Membangun Sendiri tidak dapat dikreditkan

H. Contoh Penghitungan PPN atas KMS
1. Yayasan Pelita Hati, NPWP xx.xxx.xxx.x.xxx, adalah yayasan yang memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat Pra Sejahtera di Kabupaten Bekasi dengan bentuk layanan: rumah singgah, sandang, pangan, dan pendidikan. Pada tahun 2004 Yayasan Pelita Hati membangun gedung yang berlokasi di Jalan Subroto No.256, dengan luas kurang lebih 4.000 m2 sebagai sarana kemudahan dalam memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat pra sejahtera tersebut.
Pertanyaan:
a. Apakah pembangunan gedung yang diperuntukkan untuk melayani masyarakat pra sejahtera dapat diberikan pembebasan PPN mengingat sumber dana dan material berasal dari sumbangan?
b. Apabila dikenakan PPN, berapa tarif PPN atas kegiatan membangun sendiri dan apa yang menjadi dasar pengenaan pajak?
c. Apakah material berupa pasir dan kerikil yang merupakan Barang Tidak Kena Pajak juga dimasukkan sebagai dasar pengenaan PPN?
d. Bagaimana cara penghitungan dan pelaporan apabila pembangunannya lebih dari satu tahun pajak?

Jawab :
a. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan oleh Yayasan Pelita Hati yang diperuntukkan untuk melayani masyarakat pra sejahtera dikenakan Pajak Pertambahan Nilai karena termasuk dalam pengertian kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri.
b. Tarif PPN atas KMS ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari Dasar Pengenaan Pajak(DPP). Besarnya Dasar Pengenaan Pajak untuk PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau yang dibayarkan untuk membangun sendiri, tidak termasuk harga perolehan tanah. Sehingga rumusnya: 10% x 40% x jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membangun
c. Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung PPN atas Kegiatan membangun sendiri adalah 40% x jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah, maka pasir dan kerikil tersebut menjadi satu kesatuan dalam menghitung biaya untuk membangun bangunan.
d. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antar tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kegiatan membangun sendiri yang dilakukan oleh Yayasan ABC yang pembangunannya memakan waktu lebih dari satu tahun pajak tetap terutang PPN atas KMS, sehingga harus dibayar pada setiap bulan dan harus dibayar seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya, kemudian melaporkan SSP lembar ke 3 kepada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut berada paling lambat tanggal 20 pada bulan penyetoran dilakukan.
2. PT DEF, NPWP xx.xxx.xxx.x.xxx, adalah perusahaan yang bergerak di bidang usaha agrobisnis tanaman bunga. PT DEF memiliki kebun di Cianjur dan menggunakan green house sebagai salah satu prasarana dalam penanaman bunga. Luas green house 12.000 m2. Green house terbuat dari rangkaian pipa-pipa besi yang mempunyai kekuatan kurang lebih 10 (sepuluh) tahun yang dapat dibongkar pasang dan dipindahkan ke tempat lain. Diantara pipa-pipa tersebut dibiarkan kosong/tidak ada tembok dan untuk atapnya digunakan plastic UV dengan kekuatan plastik hanya sekitar 2 atau 3 tahun. Biaya yang dikeluarkan membangun green house Rp. 350.000,-/m2
Pertanyaan :
a. Apakah green house tersebut dapat dikategorikan sebagai kegiatan membangun sendiri yang dikenakan PPN? Mengapa?
b. Berapa besarnya PPN yang terutang?
Jawab:
a. Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam PMK.39/PMK.03/2010 pasal 2 ayat(2), dijelaskan bahwa yang dimaksud bangunan yang menjadi objek PPN atas kegiatan membangun sendiri adalah bangunan berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria:
- Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu-bata atau bahan sejenis, dan/atau baja.
- Diperutukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha, dan
- Luas keseluruhan paling sedikit 300 m2(tiga ratus meter persegi)
Karena green house tersebut tidak memenuhi kriteria bangunan yang menjadi objek PPN atas kegiatan membangun sendiri, maka green house yang dibangun oleh PT.DEF tidak terutang PPN atas KMS.
b. Besarnya PPN atas KMS yang harus dibayar NIHIL

3. PT. Tekstil Indonesia yang bergerak di bidang produksi barang jadi pakaian dan celana pada tahun 2010 melakukan pembangunan sendiri bangunan pabrik tekstil. Izin yang tercantum dalam IMB adalah 7.286 m2, namun hanya dibangun 2.320 m2. Total biaya yang dikeluarkan tidak termasuk harga tanah adalah Rp. 329.896.100,-. Perhitungan PPN PT.Tekstil Indonesia adalah : 10% x 40% x Rp. 329.896.100,- = Rp. 13.195.844,-.
Pertanyaan :
Apakah perhitungan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri tersebut sudah betul ataukah menggunakan dasar dari luas IMB yaitu 7.286 m2?.
Jawab:
PMK-39/PMK.03/2010 menjelaskan tentang pengenaan PPN atas KMS sbagai berikut:
a. Pasal 1 ayat(1): Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang
b. Pasal 3 ayat(2): Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung PPN atas KMS adalah 40% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.
Berdasarkan pengertian tersebut perhitungan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri dari PT Tekstil Indonesia sudah benar, yaitu sebesar jumlah biaya yang dikeluarkan hanya untuk membangun pabrik seluas 2.320m2.

4. PT. Lebur Bumi, NPWP : xx.xxx.xxx.x.xxx yang bergerak di bidang perdagangan dan jasa penunjang minyak bumi dan gas alam, melakukan perjanjian dengan PT. Konstruksi Indonesia yang bergerak dibidang perusahaan kontraktor untuk membangun gedung kantor di atas lahan PT Lebur Bumi.
Pertanyaan:
Bagaimana pengenaan PPNnya?
Jawab:
Memperhatikan ketentuan:
a. Pasal 2 ayat (3) PMK No. 39/PMK.03/2010, diatur bahwa Kegiatan membangun sendiri yang terutang PPN oleh orang pribadi atau badan adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain.
b. Pasal 16 B ayat (1) huruf b UU No.42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga UU No.8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM, disebutkan bahwa Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya untuk penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu yang bertujuan mendorong pembangunan tempat ibadah dan menjamin tersedianya perumahan yang harganya terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah, yaitu rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana;
Maka terhadap Kegiatan membangun sendiri PT. Lebur Bumi tersebut tidak terutang PPN, tetapi atas penyerahan gedung kantor oleh PT. Konstruksi Indonesia sebagai pemborong bangunan kepada PT. Lebur Bumi sebagai pemilik bangunan dikenakan PPN atas Jasa Pemborongan Bangunan yang harus dipungut dan disetor oleh PT. Lebur Bumi.
@@@@-ai-@@@@
»»  readmore...

Kamis, 30 Juni 2011

ASPEK PERPAJAKAN TERHADAP TANAH YANG BERSTATUS TANAH NEGARA

Latar Belakang
Tanah sebagai tempat berpijak manusia memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupannya, yang berfungsi untuk tempat tinggal maupun tempat usaha. Selain itu tanah juga memiliki fungsi sosial yang digunakan untuk kepentingan umum yang dapat memberi manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, seperti; tempat ibadah, tempat pendidikan, jalan, kantor pemerintah, rumah sakit dl.
Kedudukan tanah di planet bumi ini bersifat tetap, sedangkan makluq hidup yang tinggal di muka bumi selalu tumbuh dan berkembang, sehingga ketersediaan tanah sebagai tempat hunian maupun tempat usaha manusia semakin lama semakin menyempit. Disinilah diperlukan peran Negara untuk mengaturnya, agar terjadi keseimbangan ekosistem dan dapat mengeliminir terjadinya berbagai permasalahan atas kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan terhadap tanah. Kedudukan Negara ini dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia pasal 33 ayat(3) menegaskan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” yang secara detail diuraikan dengan Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Ppokok Agraria
Keragaman adat istiadat dan budaya di Indonesia sangat berpengaruh terhadap karakteristik penguasaan dan kepemilikan tanah, sehingga bentuk atau bukti penguasaan tanah pada masing-masing daerah juga berbeda-beda. Seiring berjalannya waktu dalam pembentukan negara Indonesia, mulai zaman kerajaan/kesultanan, masa penjajahan, sampai dengan pasca kemerdekaan, bentuk penguasaan dan kepemilikan tanah terus dilakukan perubahan dan pembaruan, agar sesuai dengan perkembangan bangsa dan Negara serta tuntutan kebutuhan masyarakat atau yang dikenal dengan landreform.
Luasnya wilayah geografis Indonesia yang terbentang dari sabang sampai merauke dan berkembang pesatnya jumlah penduduk menjadi kendala dalam pendaftaran hak atas tanah sebagaimana yang telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, disamping itu juga kendala masalah biaya pembuatan sertifikat yang cukup mahal, sehingga banyak tanah yang secara fisik dikuasai oleh orang pribadi atau badan tetapi belum ada bukti penguasaan dan kepemilikan yang sah menurut undang-undang. Sebagai bukti kepemilikan atau penguasaan tanah tersebut cukup dengan surat pembayaran pajak bumi atau yang dahulu dikenal dengan Petok D sekarang dinamakan SPPT PBB, padahal berdasarkan UU PBB disebutkan bahwa tanda pembayaran pajak bukan sebagai bukti kepemilikan tanah. Hal inilah yang masih menjadi PR besar bagi pemerintah, karena persoalan pertanahan sering menimbulkan gesekan antara pribadi/kelompok masyarakat.
Setelah kemerdekaan terjadi semacam nasionalisasi penguasaan tanah yang zaman penjajahan banyak tanah partikelir yang dikuasai oleh tuan-tuan tanah atau yang disebut hak pertuanan, dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, maka tanah-tanah partikelir/eigendom dengan hak-hak pertuanan demi kepentingan umum secara serentak menajdi tanah Negara. Namun pada kenyataannya masih banyak tanah-tanah tersebut yang secara fisik masih dikuasai dan ditempati oleh orang pribadi, bahkan sering dipindahtangankan kepada pihak lain, terutama di Wilayah DKI Jakarta.
Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat dominan dalam APBN maupun APBD. Seiring dengan kebutuhan negara dalam pembiayaan pembangunan, maka objek yang dikenakan pajak juga semakin diperluas, bahkan dari waktu ke waktu mengalami perubahan dan perkembangan. Tanah dan/atau bangunan merupakan salah satu yang dikenakan, baik dilihat dari sisi objek itu sendiri, seperti pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan, maupun sisi akibat perbuatan hukum/peristiwa hukum yang terjadi terhadap tanah dan/atau bangunan, seperti pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan serta Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Permasalahan
Masih banyaknya tanah-tanah yang dikuasai oleh orang pribadi atau badan yang belum terdaftar di Badan Pertanahan Nasional, terutama statusnya sebagai tanah Negara, bagaimana implementasi pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, serta Pajak Penghasilan Final atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atas tanah Negara tersebut.


Pembahasan
A. Pengertian Tanah Negara
Pengertian tentang tanah Negara dapat dilihat dalam beberapa ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yang masing-masing memiliki definisi dan penfasiran para ahli hukum berbeda-beda:
1. Pasal 33 ayat(3) UUD 1945” Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
2. Pasal 1 Peraturan pemerintah Nomer 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara, yang dimaksud tanah Negara ialah tanah yang dikuasai penuh oleh Negara
3. Pasal 3 UU No 1 tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir
“Sejak mulai berlakunya Undang-undang ini demi kepentingan umum hak-hak pemilik beserta hak-hak pertuanannya atas semua tanah-tanah partikelir hapus dan tanah-tanah bekas tanah partikelir itu karena hukum seluruhnya serentak menjadi tanah Negara.”
4. Pasal 2 UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria, yang menyebutkan:
(1): …. bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
5. Pasal 1 angka 3 Peraturan pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah “Tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah

B. Pengenaan PBB terhadap tanah yang berstatus tanah negara
Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan Undang-Undang No.12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994. Dengan berlakunya Undang-Undang ini, sekaligus mencabut beberapa ketentuan dalam pengenaan pajak kebendaan dan kekayaan yang sudah tidak relevan lagi dengan semangat kemerdekaan Republik Indonesia serta menimbulkan tumpang tindih antara satu pajak dengan pajak yang lain sehingga menimbulkan pengenaan pajak berganda yang sangat membebani masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemungutan pajak tanah dan/atau bangunan yang dicabut dengan berlakunya UU PBB tersebut adalah:
• Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 (Personeele Belasting Ordonantie 1908, Staatsblad
tahun 1908 Nomor 13) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1868) yang dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2124) telah ditetapkan menjadi Undang-undang;
• Ordonansi Verponding Indonesia 1923 (Inlandsche Verpondings Ordonnantie 1923, Staatsblad Tahun 1923 Nomor 425) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Algemeene Verordeningen Binnenlandsche Bestuur Java en Madoera (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168);
• Ordonansi Verponding 1928 (Verpondings Ordonnantie 1928, Staatsblad Tahun 1928
Nomor 342) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang
Nomor 29 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1882);
• Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 (Ordonantie op De Vermogens Belasting 1932, Staatsblad Tahun 1932 Nomor 405) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2827);
• Ordonansi Pajak Jalan 1942 (Weggeld Ordonnantie 1942, Staatsblad Tahun 1941 Nomor 97) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Algemeene Verordening Oorlogsmisdrijven (Staatsblad Tahun 1946 Nomor 47);
• Pasal 14 huruf j, k, dan l Undang-undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1287) yang dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2124) telah ditetapkan menjadi Undang-undang.
• Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1806) yang dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2124) telah ditetapkan menjadi Undang-undang.
• Dan beberapa peraturan perundang-undangan mengenai pungutan daerah yang berkaitan dengan tanah dan bangunan
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah(PDRD), pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaan dialihkan dari Pemerintah Pusat kepada Pemaerah Kabupaten dan Kota.
1. Definisi Objek PBB
Objek yang dikenakan PBB adalah bumi dan/atau bangunan. Yang dimaksud bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya (Pasal 1 ayat(1) UU PBB). Yang dimaksud dengan permukaan bumi adalah tanah dan perairan perdalaman serta laut wilayah Indonesia, artinya segala jenis tanah yang berada di wilayah Indonesia, baik tanah sawah, tanah ladang, tanah pemukiman, tanah perkebunan, tanah perhutanan, tanah pertambangan, perikanan darat, dan perikanan laut merupakan objek Pajak Bumi dan Bangunan. Sedangkan yang dimaksud bangunan menurut pasal 1 ayat (2) UU PBB dan penjelasannya adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan yang terdiri dari:
- Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
- Jalan TOL;
- Kolam renang;
- Pagar mewah;
- Tempat olah raga;
- Galangan kapal, dermaga;
- Taman mewah;
- Tempat penampungan/kilang minyak, air, dan gas, pipa minyak, fasilitas lain yang memberi manfaat.
2. Objek yang dikecualikan dari pengenaan PBB
Tidak semua objek tanah dan bangunan yang ada di wilayah Indonesia dikenakan PBB, tetapi dalam pasal 3 UU PBB terdapat objek-objek tertentu yang dikecualikan, yaitu:
a. Digunakan semata-mata untuk kepentingan umum dibidang ibadah (masjid, gereja, pura) sosial kesehatan(Rumah Sakit Umum, tanah wakaf, puskesmas). pendidikan dan kebudayaan nasional(sekolah, pesantren, madrasah), yang tidak dimaksudkan untuk memperolah keuntungan.
b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenisnya
c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai desa, dan tanah negara yang belum dibebankan suatu hak;
d. Digunakan untuk perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
3. Definisi Subjek PBB
Dalam pasal 4 ayat (1) UU PBB dijelaskan tentang siapa yang menjadi Subjek PBB, yaitu, orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Subjek Pajak tersebut mempunyai kewajiban membayar pajak atas objek bumi dan/atau bangunan yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang(SPPT). Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB dan Tanda Pelunasan PBB bukan merupakan bukti hak milik.
Berdasarkan pasal 3 ayat 1 huruf c UU PBB tersebut menunjukkan bahwa “Tanah Negara yang belum dibebankan suatu hak” seharusnya tidak dikenakan PBB, tetapi pada prakteknya di wilayah DKI Jakarta, tanah yang dikuasai/dimanfaatkan oleh orang pribadi yang mana terhadap tanah tersebut belum ada hak yang melekat sebagaimana diatur dalam UUPA dan di atas tanah tersebut telah berdiri bangunan, maka dikenakan PBB. Biasanya orang pribadi yang menguasai/memperoleh manfaat dari tanah tersebut kedudukannya sebagai penggarap, sehingga tanahnya disebut hak garap atau kadang disebut juga tanah Negara. Status tanah tersebut sebagai tanah Negara dapat dilihat dengan mudah pada bukti penguasaan tanah yang dimiliki oleh orang pribadi tersebut, dengan judul” Surat penyerahan hak/pelepasan hak atas bangunan yang berdiri di atas tanah Negara”. Dari judul yang tercantum dalam surat penguasaan tanah tersebut, dapat dipahami bahwa orang pribadi hanya memiliki hak atas bangunan saja.
Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan atas tanah Negara atau tanah yang belum dibebankan hak tersebut, terdapat beberapa kemungkinan yang mendasarinya :
a. Dalam menetapkan PBB terhutang, fiscus kurang cermat/teliti dalam memahami pasal 3 ayat(1) UU PBB, yaitu pengertian tentang jenis Objek Pajak yang dikecualikan dari pengenaan PBB;
b. Dalam menetapkan PBB terhutang, fiscus hanya memperhatikan klausul pasal 4 ayat (1) & ayat (2) UU PBB tentang Subjek Pajak yang diwajibkan membayar PBB, yaitu orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi…. ,
c. SPPT PBB merupakan tuntutan orang pribadi yang memperoleh manfaat atas tanah Negara, dengan beberapa alasan, diantaranya: Pertama: orang pribadi tersebut ingin berkontribusi dalam membayar pajak, Kedua: adanya bukti pembayaran PBB, dapat memperkuat penguasaan atas tanah Negara oleh orang pribadi, sehingga suatu saat dapat dimohonkan hak kepada Badan Pertanahan Nasional, Ketiga: melalui kepemilikan hak atas bangunan yang berdiri di atas tanah Negara, maka tanah tersebut dapat dipindahtangankan kepada pihak lain dengan penggantian uang.
Apabila mengacu ketentuan perundang-undangan yang ada, untuk tanah Negara yang telah berdiri di atasnya bangunan, seharusnya hanya bangunan saja yang dikenakan PBB, sebagaimana pengertian dari “objek pajak” yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUPBB” Yang dimaksud objek pajak adalah bumi dan/atau bangunan”. Dari klausul ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang menjadi objek pajak PBB adalah tanah saja, tanah dan bangunan, atau bangunan saja.
.
C. BPHTB atas tanah yang berstatus tanah Negara
Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan didasarkan pada UU No. 21 tahun 1997 tentang BPHTB sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 2000, kemudian berdasarkan UU No.28 Tahun 2009 tentang PDRD, sejak 1 Januari 2011 pemungutan BPHTB dialihkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota.
BPHTB hanya dikenakan dan terhutang oleh orang pribadi atau badan, apabila orang pribadi atau badan memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan melalui peralihan/pemindahan hak, untuk tanah yang sudah melekat atau dibebani hak tertentu menurut UUPA, yang mana terhutangnya BPHTB dibagi atas 3(tiga) macam, yaitu: a). pada saat ditandatangani akta peralihan/pemidahan hak atas tanah, b). sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, c) sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, sedangkan untuk perolehan hak atas tanah melalui pemberian hak baru, karena tanah tersebut belum dibebani hak sama sekali menurut UUPA, maka terhutangnya BPHTB pada saat ditandatangani keputusan pemberian hak baru tersebut oleh pejabat yang berwenang.
Dalam pasal 2 ayat (3) UU BPHTB dan pasal 85 ayat (3) UU PDRD secara jelas disebutkan tentang jenis perolehan hak atas tanah yang terhutang BPHTB, yaitu:
a. Hak Milik
b. Hak Guna Bangunan
c. Hak Pakai
d. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
e. Hak Pengelolaan
Dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas, maka terhadap perolehan tanah melalui pemindahan/peralihan hak, seperti: pelepasan, penyerahan, jual beli, hibah dll dari tanah yang berstatus tanah negara dimana belum dibebani 5(lima) jenis hak atas tanah tersebut , maka tidak terhutang BPHTB, walaupun akta pemindahan dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang. Tetapi ketika tanah tersebut didaftarkan untuk memperoleh hak, maka akan terhutang BPHTB pada saat ditandatangani persetujuan pemberian hak tersebut oleh pejabat yang berwenang(BPN).

D. PPh Final atas penghasilan dari peralihan tanah yang berstatus tanah negara.
Pengenaan Pajak Penghasilan final atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan di atur dalam pasal 4 ayat(2) huruf d Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan ke empat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang dipertegas dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pengenaan PPh final tersebut, sebagaimana diatur dalam PP No. 48 Tahun 1994 yang telah diubah dengan PP No.71 Tahun 2008, yaitu :
1. Objek yang dikenakan Pajak Penghasilan bersifat Final adalah penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui:
a. penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah;
b. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus;
c. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
2. Pajak Penghasilan atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
3. Pejabat yang berwenang menandatangani akta adalah Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat, Pejabat Lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Tarif PPh Final yang berlaku sebesar 5%(lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan 1%(satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan sebagai usaha pokoknya.
5. Jumlah bruto nilai pengalihan yang digunakan untuk menghitung besarnya PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah nilai tertinggi antara nilai transakasi yang tercantum dalam akta pengalihan dengan Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Bumi dan Bangunan dalam tahun terjadinya pengalihan.
Apabila diambil kesimpulan prinsip-prinsip diatas, bahwa suatu peralihan tanah dan/atau bangunan dengan cara penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain, dikenakan PPh bersifat Final apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Adanya Subjek Pajak(orang pribadi atau badan) yang melakukan pengalihan;
2. Adanya hak atas tanah dan/atau bangunan yang dialihkan;
Karena tidak ada penjelasan khusus mengenai hak atas tanah yang dimaksud dalam PP No.48 Tahun 1994 yang diubah dengan PP No.71 Tahun 2008, tentunya hak atas tanah mengacu pada ketentuan umum tentang pertanahan yang ada dalam UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria;
3. Adanya akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang sebagai bukti terjadinya peralihan;
4. Adanya pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang yaitu: Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat, Pejabat Lelang; atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Subjek Pajak tidak termasuk yang dikecualikan oleh pasal 5 PP No.71 Tahun 2008 tentang perubahan PP No.48 Tahun 1994.
Menurut pendapat penulis, jika ke lima unsur tersebut tidak melekat pada proses peralihan tanah dan/atau bangunan, maka atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh orang pribadi/badan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan tersebut tidak terhutang Pajak Penghasilan bersifat Final, sebagimana dimaksud Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008.
Sebagai contoh di Wilayah DKI Jakarta, sebidang tanah belum bersertifikat yang dikuasai oleh orang pribadi dengan penghasilan di bawah PTKP, status tanah merupakan tanah Negara yang di atasnya berdiri suatu bangunan. Kemudian tanah tersebut dipindahtangankan kepada pihak lain(orang pribadi atau badan) melalui pelepasan hak atas bangunan yang berdiri di atas tanah Negara dengan harga Rp.100.000.000(seratus juta rupiah), maka orang pribadi yang mengalihkan tanah dan bangunan tersebut mendapatkan penghasilan. Surat pelepasan hak dicatat pada register kelurahan. Apakah penghasilan yang diperoleh oleh orang pribadi yang mengalihkan tanah Negara tersebut terhutang PPh Final?
Jawaban:
1. Subjek Pajak yang mengalihkan adalah orang pribadi, yang berpenghasilan di bawah PTKP, tetapi besarnya nilai transaksi diatas Rp. 60.000.000,- , maka unsur ini terpenuhi;
2. Objek yang dialihkan: tanah Negara dan hak atas bangunan;
Dari sisi tanah yang dialihkan, karena merupakan tanah Negara, maka unsur hak atas tanah tidak terpenuhi, tetapi dari sisi hak atas bangunan yang dialihkan unsurnya terpenuhi, karena kepemilikan bangunan dapat berupa IMB atau penguasaan atas bangunan saja, tidak peraturan perundangan yang mengatur kepemilikan bangunan.
3. Bentuk surat pelepasan hak tidak memenuhi surat yang bersifat autentik; maka unsur tidak terpenuhi;
4. Surat pelepasan hak atas bangunan yang berdiri di atas tanah Negara hanya di catat register kelurahan dan tidak ditandatangani oleh pejabat berwenang yang dimaksud dalam PP.NO.48 Tahun 1994, maka unsur ini tidak terpenuhi.
5. Nilai pengalihan objek pajak di atas Rp.60.000.000,-(enam puluh juta rupiah), maka unsur ini terpenuhi.
Dari unsur-unsur yang diuraikan di atas, maka penghasilan yang diterima oleh orang pribadi yang berpenghasilan dibawah PTKP tersebut tidak terhutang PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, karena tidak terpenuhinya, unsur hak atas tanah, unsur bentuk surat pelepasan hak , dan unsur pejabat yang berwenang yang menandatangani

Kesimpulan
Dari uraian pembahasan mengenai aspek perpajakan terhadap tanah yang berstatus tanah Negara tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada dasarnya tanah Negara tidak bisa dialihkan tanpa seijin pemerintah;
2. Tanah Negara tidak dikenakan pajak, kecuali setelah melekat padanya hak-hak atas tanah sebagaimana diatur UUPA;
3. Perlu dibuat aturan perundang-undangan yang lebih jelas tentang pengenaan pajak terhadap tanah Negara, sehingga tidak menimbulkan multitafsir antara petugas pajak.


@@@-ai-@@@


Sumber Pustaka
- UUD 1945 dan Perubahannya;
- UU No.1 tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir;
- UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria;
- UU No.12 Tahun 1985 tentang PBB yang diubah dengan UU No.12 Tahun 1994;
- PP No.48 Tahun 1994 yang diubah dengan PP No.71 tahun 2008 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/ Bangunan
- UU No.21 tahun 1997 tentang BPHTB yang diubah dengan UU No.20 tahun 2000 (sudah tidak berlaku);
- PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
- UU No.28 tahun 2009 tentang PDRD;
»»  readmore...