Kamis, 30 Juni 2011

ASPEK PERPAJAKAN TERHADAP TANAH YANG BERSTATUS TANAH NEGARA

Latar Belakang
Tanah sebagai tempat berpijak manusia memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupannya, yang berfungsi untuk tempat tinggal maupun tempat usaha. Selain itu tanah juga memiliki fungsi sosial yang digunakan untuk kepentingan umum yang dapat memberi manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, seperti; tempat ibadah, tempat pendidikan, jalan, kantor pemerintah, rumah sakit dl.
Kedudukan tanah di planet bumi ini bersifat tetap, sedangkan makluq hidup yang tinggal di muka bumi selalu tumbuh dan berkembang, sehingga ketersediaan tanah sebagai tempat hunian maupun tempat usaha manusia semakin lama semakin menyempit. Disinilah diperlukan peran Negara untuk mengaturnya, agar terjadi keseimbangan ekosistem dan dapat mengeliminir terjadinya berbagai permasalahan atas kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan terhadap tanah. Kedudukan Negara ini dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia pasal 33 ayat(3) menegaskan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” yang secara detail diuraikan dengan Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Ppokok Agraria
Keragaman adat istiadat dan budaya di Indonesia sangat berpengaruh terhadap karakteristik penguasaan dan kepemilikan tanah, sehingga bentuk atau bukti penguasaan tanah pada masing-masing daerah juga berbeda-beda. Seiring berjalannya waktu dalam pembentukan negara Indonesia, mulai zaman kerajaan/kesultanan, masa penjajahan, sampai dengan pasca kemerdekaan, bentuk penguasaan dan kepemilikan tanah terus dilakukan perubahan dan pembaruan, agar sesuai dengan perkembangan bangsa dan Negara serta tuntutan kebutuhan masyarakat atau yang dikenal dengan landreform.
Luasnya wilayah geografis Indonesia yang terbentang dari sabang sampai merauke dan berkembang pesatnya jumlah penduduk menjadi kendala dalam pendaftaran hak atas tanah sebagaimana yang telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, disamping itu juga kendala masalah biaya pembuatan sertifikat yang cukup mahal, sehingga banyak tanah yang secara fisik dikuasai oleh orang pribadi atau badan tetapi belum ada bukti penguasaan dan kepemilikan yang sah menurut undang-undang. Sebagai bukti kepemilikan atau penguasaan tanah tersebut cukup dengan surat pembayaran pajak bumi atau yang dahulu dikenal dengan Petok D sekarang dinamakan SPPT PBB, padahal berdasarkan UU PBB disebutkan bahwa tanda pembayaran pajak bukan sebagai bukti kepemilikan tanah. Hal inilah yang masih menjadi PR besar bagi pemerintah, karena persoalan pertanahan sering menimbulkan gesekan antara pribadi/kelompok masyarakat.
Setelah kemerdekaan terjadi semacam nasionalisasi penguasaan tanah yang zaman penjajahan banyak tanah partikelir yang dikuasai oleh tuan-tuan tanah atau yang disebut hak pertuanan, dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, maka tanah-tanah partikelir/eigendom dengan hak-hak pertuanan demi kepentingan umum secara serentak menajdi tanah Negara. Namun pada kenyataannya masih banyak tanah-tanah tersebut yang secara fisik masih dikuasai dan ditempati oleh orang pribadi, bahkan sering dipindahtangankan kepada pihak lain, terutama di Wilayah DKI Jakarta.
Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat dominan dalam APBN maupun APBD. Seiring dengan kebutuhan negara dalam pembiayaan pembangunan, maka objek yang dikenakan pajak juga semakin diperluas, bahkan dari waktu ke waktu mengalami perubahan dan perkembangan. Tanah dan/atau bangunan merupakan salah satu yang dikenakan, baik dilihat dari sisi objek itu sendiri, seperti pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan, maupun sisi akibat perbuatan hukum/peristiwa hukum yang terjadi terhadap tanah dan/atau bangunan, seperti pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan serta Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Permasalahan
Masih banyaknya tanah-tanah yang dikuasai oleh orang pribadi atau badan yang belum terdaftar di Badan Pertanahan Nasional, terutama statusnya sebagai tanah Negara, bagaimana implementasi pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, serta Pajak Penghasilan Final atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atas tanah Negara tersebut.


Pembahasan
A. Pengertian Tanah Negara
Pengertian tentang tanah Negara dapat dilihat dalam beberapa ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yang masing-masing memiliki definisi dan penfasiran para ahli hukum berbeda-beda:
1. Pasal 33 ayat(3) UUD 1945” Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
2. Pasal 1 Peraturan pemerintah Nomer 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara, yang dimaksud tanah Negara ialah tanah yang dikuasai penuh oleh Negara
3. Pasal 3 UU No 1 tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir
“Sejak mulai berlakunya Undang-undang ini demi kepentingan umum hak-hak pemilik beserta hak-hak pertuanannya atas semua tanah-tanah partikelir hapus dan tanah-tanah bekas tanah partikelir itu karena hukum seluruhnya serentak menjadi tanah Negara.”
4. Pasal 2 UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria, yang menyebutkan:
(1): …. bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
5. Pasal 1 angka 3 Peraturan pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah “Tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah

B. Pengenaan PBB terhadap tanah yang berstatus tanah negara
Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan Undang-Undang No.12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994. Dengan berlakunya Undang-Undang ini, sekaligus mencabut beberapa ketentuan dalam pengenaan pajak kebendaan dan kekayaan yang sudah tidak relevan lagi dengan semangat kemerdekaan Republik Indonesia serta menimbulkan tumpang tindih antara satu pajak dengan pajak yang lain sehingga menimbulkan pengenaan pajak berganda yang sangat membebani masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemungutan pajak tanah dan/atau bangunan yang dicabut dengan berlakunya UU PBB tersebut adalah:
• Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 (Personeele Belasting Ordonantie 1908, Staatsblad
tahun 1908 Nomor 13) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1868) yang dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2124) telah ditetapkan menjadi Undang-undang;
• Ordonansi Verponding Indonesia 1923 (Inlandsche Verpondings Ordonnantie 1923, Staatsblad Tahun 1923 Nomor 425) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Algemeene Verordeningen Binnenlandsche Bestuur Java en Madoera (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168);
• Ordonansi Verponding 1928 (Verpondings Ordonnantie 1928, Staatsblad Tahun 1928
Nomor 342) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang
Nomor 29 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1882);
• Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 (Ordonantie op De Vermogens Belasting 1932, Staatsblad Tahun 1932 Nomor 405) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2827);
• Ordonansi Pajak Jalan 1942 (Weggeld Ordonnantie 1942, Staatsblad Tahun 1941 Nomor 97) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Algemeene Verordening Oorlogsmisdrijven (Staatsblad Tahun 1946 Nomor 47);
• Pasal 14 huruf j, k, dan l Undang-undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1287) yang dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2124) telah ditetapkan menjadi Undang-undang.
• Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1806) yang dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2124) telah ditetapkan menjadi Undang-undang.
• Dan beberapa peraturan perundang-undangan mengenai pungutan daerah yang berkaitan dengan tanah dan bangunan
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah(PDRD), pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaan dialihkan dari Pemerintah Pusat kepada Pemaerah Kabupaten dan Kota.
1. Definisi Objek PBB
Objek yang dikenakan PBB adalah bumi dan/atau bangunan. Yang dimaksud bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya (Pasal 1 ayat(1) UU PBB). Yang dimaksud dengan permukaan bumi adalah tanah dan perairan perdalaman serta laut wilayah Indonesia, artinya segala jenis tanah yang berada di wilayah Indonesia, baik tanah sawah, tanah ladang, tanah pemukiman, tanah perkebunan, tanah perhutanan, tanah pertambangan, perikanan darat, dan perikanan laut merupakan objek Pajak Bumi dan Bangunan. Sedangkan yang dimaksud bangunan menurut pasal 1 ayat (2) UU PBB dan penjelasannya adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan yang terdiri dari:
- Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
- Jalan TOL;
- Kolam renang;
- Pagar mewah;
- Tempat olah raga;
- Galangan kapal, dermaga;
- Taman mewah;
- Tempat penampungan/kilang minyak, air, dan gas, pipa minyak, fasilitas lain yang memberi manfaat.
2. Objek yang dikecualikan dari pengenaan PBB
Tidak semua objek tanah dan bangunan yang ada di wilayah Indonesia dikenakan PBB, tetapi dalam pasal 3 UU PBB terdapat objek-objek tertentu yang dikecualikan, yaitu:
a. Digunakan semata-mata untuk kepentingan umum dibidang ibadah (masjid, gereja, pura) sosial kesehatan(Rumah Sakit Umum, tanah wakaf, puskesmas). pendidikan dan kebudayaan nasional(sekolah, pesantren, madrasah), yang tidak dimaksudkan untuk memperolah keuntungan.
b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenisnya
c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai desa, dan tanah negara yang belum dibebankan suatu hak;
d. Digunakan untuk perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
3. Definisi Subjek PBB
Dalam pasal 4 ayat (1) UU PBB dijelaskan tentang siapa yang menjadi Subjek PBB, yaitu, orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Subjek Pajak tersebut mempunyai kewajiban membayar pajak atas objek bumi dan/atau bangunan yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang(SPPT). Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB dan Tanda Pelunasan PBB bukan merupakan bukti hak milik.
Berdasarkan pasal 3 ayat 1 huruf c UU PBB tersebut menunjukkan bahwa “Tanah Negara yang belum dibebankan suatu hak” seharusnya tidak dikenakan PBB, tetapi pada prakteknya di wilayah DKI Jakarta, tanah yang dikuasai/dimanfaatkan oleh orang pribadi yang mana terhadap tanah tersebut belum ada hak yang melekat sebagaimana diatur dalam UUPA dan di atas tanah tersebut telah berdiri bangunan, maka dikenakan PBB. Biasanya orang pribadi yang menguasai/memperoleh manfaat dari tanah tersebut kedudukannya sebagai penggarap, sehingga tanahnya disebut hak garap atau kadang disebut juga tanah Negara. Status tanah tersebut sebagai tanah Negara dapat dilihat dengan mudah pada bukti penguasaan tanah yang dimiliki oleh orang pribadi tersebut, dengan judul” Surat penyerahan hak/pelepasan hak atas bangunan yang berdiri di atas tanah Negara”. Dari judul yang tercantum dalam surat penguasaan tanah tersebut, dapat dipahami bahwa orang pribadi hanya memiliki hak atas bangunan saja.
Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan atas tanah Negara atau tanah yang belum dibebankan hak tersebut, terdapat beberapa kemungkinan yang mendasarinya :
a. Dalam menetapkan PBB terhutang, fiscus kurang cermat/teliti dalam memahami pasal 3 ayat(1) UU PBB, yaitu pengertian tentang jenis Objek Pajak yang dikecualikan dari pengenaan PBB;
b. Dalam menetapkan PBB terhutang, fiscus hanya memperhatikan klausul pasal 4 ayat (1) & ayat (2) UU PBB tentang Subjek Pajak yang diwajibkan membayar PBB, yaitu orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi…. ,
c. SPPT PBB merupakan tuntutan orang pribadi yang memperoleh manfaat atas tanah Negara, dengan beberapa alasan, diantaranya: Pertama: orang pribadi tersebut ingin berkontribusi dalam membayar pajak, Kedua: adanya bukti pembayaran PBB, dapat memperkuat penguasaan atas tanah Negara oleh orang pribadi, sehingga suatu saat dapat dimohonkan hak kepada Badan Pertanahan Nasional, Ketiga: melalui kepemilikan hak atas bangunan yang berdiri di atas tanah Negara, maka tanah tersebut dapat dipindahtangankan kepada pihak lain dengan penggantian uang.
Apabila mengacu ketentuan perundang-undangan yang ada, untuk tanah Negara yang telah berdiri di atasnya bangunan, seharusnya hanya bangunan saja yang dikenakan PBB, sebagaimana pengertian dari “objek pajak” yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUPBB” Yang dimaksud objek pajak adalah bumi dan/atau bangunan”. Dari klausul ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang menjadi objek pajak PBB adalah tanah saja, tanah dan bangunan, atau bangunan saja.
.
C. BPHTB atas tanah yang berstatus tanah Negara
Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan didasarkan pada UU No. 21 tahun 1997 tentang BPHTB sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 2000, kemudian berdasarkan UU No.28 Tahun 2009 tentang PDRD, sejak 1 Januari 2011 pemungutan BPHTB dialihkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota.
BPHTB hanya dikenakan dan terhutang oleh orang pribadi atau badan, apabila orang pribadi atau badan memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan melalui peralihan/pemindahan hak, untuk tanah yang sudah melekat atau dibebani hak tertentu menurut UUPA, yang mana terhutangnya BPHTB dibagi atas 3(tiga) macam, yaitu: a). pada saat ditandatangani akta peralihan/pemidahan hak atas tanah, b). sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, c) sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, sedangkan untuk perolehan hak atas tanah melalui pemberian hak baru, karena tanah tersebut belum dibebani hak sama sekali menurut UUPA, maka terhutangnya BPHTB pada saat ditandatangani keputusan pemberian hak baru tersebut oleh pejabat yang berwenang.
Dalam pasal 2 ayat (3) UU BPHTB dan pasal 85 ayat (3) UU PDRD secara jelas disebutkan tentang jenis perolehan hak atas tanah yang terhutang BPHTB, yaitu:
a. Hak Milik
b. Hak Guna Bangunan
c. Hak Pakai
d. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
e. Hak Pengelolaan
Dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas, maka terhadap perolehan tanah melalui pemindahan/peralihan hak, seperti: pelepasan, penyerahan, jual beli, hibah dll dari tanah yang berstatus tanah negara dimana belum dibebani 5(lima) jenis hak atas tanah tersebut , maka tidak terhutang BPHTB, walaupun akta pemindahan dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang. Tetapi ketika tanah tersebut didaftarkan untuk memperoleh hak, maka akan terhutang BPHTB pada saat ditandatangani persetujuan pemberian hak tersebut oleh pejabat yang berwenang(BPN).

D. PPh Final atas penghasilan dari peralihan tanah yang berstatus tanah negara.
Pengenaan Pajak Penghasilan final atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan di atur dalam pasal 4 ayat(2) huruf d Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan ke empat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang dipertegas dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pengenaan PPh final tersebut, sebagaimana diatur dalam PP No. 48 Tahun 1994 yang telah diubah dengan PP No.71 Tahun 2008, yaitu :
1. Objek yang dikenakan Pajak Penghasilan bersifat Final adalah penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui:
a. penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah;
b. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus;
c. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
2. Pajak Penghasilan atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
3. Pejabat yang berwenang menandatangani akta adalah Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat, Pejabat Lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Tarif PPh Final yang berlaku sebesar 5%(lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan 1%(satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan sebagai usaha pokoknya.
5. Jumlah bruto nilai pengalihan yang digunakan untuk menghitung besarnya PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah nilai tertinggi antara nilai transakasi yang tercantum dalam akta pengalihan dengan Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Bumi dan Bangunan dalam tahun terjadinya pengalihan.
Apabila diambil kesimpulan prinsip-prinsip diatas, bahwa suatu peralihan tanah dan/atau bangunan dengan cara penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain, dikenakan PPh bersifat Final apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Adanya Subjek Pajak(orang pribadi atau badan) yang melakukan pengalihan;
2. Adanya hak atas tanah dan/atau bangunan yang dialihkan;
Karena tidak ada penjelasan khusus mengenai hak atas tanah yang dimaksud dalam PP No.48 Tahun 1994 yang diubah dengan PP No.71 Tahun 2008, tentunya hak atas tanah mengacu pada ketentuan umum tentang pertanahan yang ada dalam UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria;
3. Adanya akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang sebagai bukti terjadinya peralihan;
4. Adanya pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang yaitu: Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat, Pejabat Lelang; atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Subjek Pajak tidak termasuk yang dikecualikan oleh pasal 5 PP No.71 Tahun 2008 tentang perubahan PP No.48 Tahun 1994.
Menurut pendapat penulis, jika ke lima unsur tersebut tidak melekat pada proses peralihan tanah dan/atau bangunan, maka atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh orang pribadi/badan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan tersebut tidak terhutang Pajak Penghasilan bersifat Final, sebagimana dimaksud Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008.
Sebagai contoh di Wilayah DKI Jakarta, sebidang tanah belum bersertifikat yang dikuasai oleh orang pribadi dengan penghasilan di bawah PTKP, status tanah merupakan tanah Negara yang di atasnya berdiri suatu bangunan. Kemudian tanah tersebut dipindahtangankan kepada pihak lain(orang pribadi atau badan) melalui pelepasan hak atas bangunan yang berdiri di atas tanah Negara dengan harga Rp.100.000.000(seratus juta rupiah), maka orang pribadi yang mengalihkan tanah dan bangunan tersebut mendapatkan penghasilan. Surat pelepasan hak dicatat pada register kelurahan. Apakah penghasilan yang diperoleh oleh orang pribadi yang mengalihkan tanah Negara tersebut terhutang PPh Final?
Jawaban:
1. Subjek Pajak yang mengalihkan adalah orang pribadi, yang berpenghasilan di bawah PTKP, tetapi besarnya nilai transaksi diatas Rp. 60.000.000,- , maka unsur ini terpenuhi;
2. Objek yang dialihkan: tanah Negara dan hak atas bangunan;
Dari sisi tanah yang dialihkan, karena merupakan tanah Negara, maka unsur hak atas tanah tidak terpenuhi, tetapi dari sisi hak atas bangunan yang dialihkan unsurnya terpenuhi, karena kepemilikan bangunan dapat berupa IMB atau penguasaan atas bangunan saja, tidak peraturan perundangan yang mengatur kepemilikan bangunan.
3. Bentuk surat pelepasan hak tidak memenuhi surat yang bersifat autentik; maka unsur tidak terpenuhi;
4. Surat pelepasan hak atas bangunan yang berdiri di atas tanah Negara hanya di catat register kelurahan dan tidak ditandatangani oleh pejabat berwenang yang dimaksud dalam PP.NO.48 Tahun 1994, maka unsur ini tidak terpenuhi.
5. Nilai pengalihan objek pajak di atas Rp.60.000.000,-(enam puluh juta rupiah), maka unsur ini terpenuhi.
Dari unsur-unsur yang diuraikan di atas, maka penghasilan yang diterima oleh orang pribadi yang berpenghasilan dibawah PTKP tersebut tidak terhutang PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, karena tidak terpenuhinya, unsur hak atas tanah, unsur bentuk surat pelepasan hak , dan unsur pejabat yang berwenang yang menandatangani

Kesimpulan
Dari uraian pembahasan mengenai aspek perpajakan terhadap tanah yang berstatus tanah Negara tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada dasarnya tanah Negara tidak bisa dialihkan tanpa seijin pemerintah;
2. Tanah Negara tidak dikenakan pajak, kecuali setelah melekat padanya hak-hak atas tanah sebagaimana diatur UUPA;
3. Perlu dibuat aturan perundang-undangan yang lebih jelas tentang pengenaan pajak terhadap tanah Negara, sehingga tidak menimbulkan multitafsir antara petugas pajak.


@@@-ai-@@@


Sumber Pustaka
- UUD 1945 dan Perubahannya;
- UU No.1 tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir;
- UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria;
- UU No.12 Tahun 1985 tentang PBB yang diubah dengan UU No.12 Tahun 1994;
- PP No.48 Tahun 1994 yang diubah dengan PP No.71 tahun 2008 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/ Bangunan
- UU No.21 tahun 1997 tentang BPHTB yang diubah dengan UU No.20 tahun 2000 (sudah tidak berlaku);
- PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
- UU No.28 tahun 2009 tentang PDRD;
»»  readmore...